Orang-Orang Muda di Balik Galeri Seni

Kamis, 07 Januari 2010


Meski bukan perupa, orang-orang ini begitu aktif di dunia seni rupa. Mereka menyelenggarakan pameran, membangun galeri seni, hingga mendorong perupa muda untuk terus menelurkan karya. Yang lebih asyik, usia mereka masih muda.

PADA 3 April tahun ini, Samuel Lianto pas berumur 32 tahun. Masih cukup muda. Pada usia itu, dia sudah punya Sozo Art Space, galeri seni di kawasan Darmo Indah Timur. Setahun terakhir ini galeri tersebut dike­lola bersama Asri Nugroho, perupa senior Surabaya.

Insting. Begitu kata Sam tentang pendirian galeri yang kini dikembangkan hingga empat lantai tersebut. Sebab, ketika membangun galeri, Sam sama sekali tidak paham tentang lukisan. Dia memang pernah berkecimpung di dunia seni, tapi lebih banyak ke musik. Bapak satu anak itu kerap tampil di gereja sebagai drumer.

Semuanya berawal pada pertengahan 2008. Ceritanya, pria berkacamata tersebut tengah mencari lukisan untuk kantor perusahaan yang dibangunnya. Karena buta soal karya seni, dia pun meminta bantuan Asri Nugroho, sosok yang dikenalnya sebagai perupa.

"Saya tahu dia pelukis, tapi tidak tahu perkembangannya seperti apa," katanya.

Saat bertemu Nunuk, panggilan Sam kepada Asri Nugroho, dia mendapat kabar bahwa galeri Gracia yang dikelola pelukis berambut gondrong itu akan ditutup. Dia pun memutuskan untuk membuka galeri baru demi menolong Nunuk yang dikenalnya sejak kelas 1 SMP.

Dalam benaknya, dia yakin bahwa galeri tersebut akan berguna untuk bisnisnya. Namun, dia belum yakin dalam bentuk apa. "Kebetulan orang tua punya ruko bekas tempat kursus paper clay di Darmo Indah Timur ini. Pak Nunuk saya ajak melihat lokasinya," kenang bungsu di antara lima bersaudara tersebut.

Ternyata, Nunuk setuju. Ruko yang awalnya berdinding kaca itu langsung diubah menjadi bangunan yang sesuai dengan standar galeri. Tidak butuh waktu lama mewujudkannya. Pada Oktober 2008, mereka mencapai kesepakatan. Januari 2009, galeri siap dioperasikan. Tapi waktu itu, hanya dua di antara empat lantai yang dimanfaatkan.

Secara fisik, bentuk galeri Sozo yang dibangun Sam memang berbeda daripada galeri yang lain. Bangunan depan didominasi warna hitam. Sementara itu, dinding ruang depan menggunakan warna-warna terang, seperti merah, kuning, dan biru. Padahal, biasanya galeri seni didominasi warna putih.

Saat mengajak Nunuk bekerja sama, tidak ada proposal, pemaparan konsep atau business plan yang dibahas. Sam hanya bermodal percaya pada kemampuan perupa yang selalu bercelana pendek tersebut. Putra pasangan Afi Soekardi Lianto dan Liliana itu menggolongkan proyek tersebut sebagai nonprofit oriented.

Sehari-hari, Sam menjadi direktur utama perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan bahan pembangunan jalan. Dia juga sering membantu proyek sang istri yang bekerja sebagai desainer interior. Karena itu, bukan masalah besar jika galeri yang dibangunnya dengan dana Rp 90 juta tersebut tidak menghasilkan.

"Bisa dibilang, saya hanya ingin balas budi. Dulu, saya pernah dibantu Pak Nunuk. Sekarang saya ingin membalas kebaikannya," ujar alumnus Fakutas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut. Namun saat galeri mulai beroperasi, Sam mendapati satu hal. Galeri tersebut bisa membantu pencitraan dirinya.

"Orang lebih respek kalau saat berkenalan, saya menyebut sebagai pemilik galeri. Baru setelah terjadi perbincangan, saya akan masuk ke ranah bisnis yang sebenarnya," cerita suami Megumi Halim tersebut. Itu sangat membantunya dalam melakukan lobi-lobi bisnis. Apalagi, dia menjadikan galeri itu sekaligus sebagai kantor.

"Jadi ketemu tamu, meeting dengan klien, semua saya lakukan di sini," katanya sambil menunjuk ruang depan galeri yang dilengkapi dua meja kayu bujur sangkar berukuran satu meter dan beberapa kursi merah. Ruang tersebut juga tersambung dengan saluran telepon dan internet.

Karena itulah, hampir setiap hari, Sam berada di galeri tersebut. Meski sebagai pengusaha, penampilannya tidak terlalu formal. ''Seragamnya'' adalah kemeja lengan pendek yang tidak dimasukkan serta celana kain. Rambutnya pun tidak klimis, tapi ditata ala anak muda. Spike alias jigrak-jigrak.

Dengan berbagai fasilitas kantor plus hampir seluruh bagian dinding dihiasi lukisan, Sam berani mengklaim bahwa galerinya lebih nyaman jika dibandingkan dengan meeting room hotel berbintang lima sekalipun. Hasilnya, tak hanya urusan bisnis yang lancar. Banyak klien yang datang ke galeri tersebut akhirnya juga terpincut dan membeli lukisan koleksinya.

Hingga kini, dia mengatakan sudah "membaptis" empat hingga lima orang untuk menjadi kolektor baru. "Salah satu klien saya itu orang kaya. Tapi, dia tidak pernah beli lukisan. Dia lebih suka beli guci dari Tiongkok atau Eropa," cerita Sam. Tapi, karena sering meeting di galeri, dia pun mulai tertarik dengan lukisan.

Setelah bertanya-tanya, sang klien langsung membeli lukisan koleksi Sozo. Tidak hanya satu, tapi langsung dua. Keputusan Sam untuk memanfaatkan galeri sebagai ruang meeting, ternyata, berimbas pada penciptaan pasar baru. "Lebih baik saya ciptakan kolektor baru daripada rebutan kolektor dengan galeri yang sudah ada," jelasnya.

Sejak saat itu, Sam memutuskan untuk menggarap pasar tersebut. "Kalau dalam bisnis, mereka ini segi tiga teratas. Yang penting harus dapat kepercayaan mereka dulu. Nanti mereka yang cari kita," terangnya. Untuk itu, kualitas lukisan yang akan dipamerkan harus benar-benar dijaga.

Dalam mengelola galeri, Sam membagi tugas. Teknis pemilihan seniman dan lukisan yang akan dipamerkan adalah tugas Nunuk. Dia lebih banyak mengawasi manajemen galeri. Karena merasa tak memiliki bekal cukup, dia tak mau mengintervensi tugas Nunuk tersebut.

Namun selama setahun mengoperasikan galeri miliknya, Sam mau tak mau belajar mengenali lukisan yang berkualitas. Biasanya, saat melangsungkan pameran, dia bertaruh dengan Nunuk tentang lukisan yang akan terjual lebih dahulu. Ternyata, prediksinya lebih banyak salah ketimbang benar.

"Jadi saya di-goblok-goblok-kan sama Pak Nunuk. Tapi, dari situ saya belajar, kenapa saya salah dan kenapa dia benar. Lama-lama saya paham juga," katanya, lantas tertawa. Jadi, sekarang sudah sering benar dong? "Belum juga. Masih sering salah. Tapi, namanya belajar," jawabnya.

Berusaha Kembangkan Penjualan Online

Meski awalnya tak diniati untuk profit oriented, ternyata, galeri yang dirintis setahun terakhir dirasa menguntungkan. Sam mengatakan, penjualan lukisan di galeri miliknya mampu menutup biaya operasional. Karena itu, dia berniat memperluas jaringan galerinya dengan sistem online.

"Kalau dari kacamata bisnis, pameran secara fisik itu buang-buang waktu. Tapi, demi pencitraan, harus tetap ada. Maka, akhirnya saya kombinasikan. Pameran fisik dengan online," ujarnya. Dia pun membuat situs yang memajang lukisan karya seniman yang pernah berpameran di galerinya.

Ternyata, hal tersebut membuahkan hasil. Dua lukisan milik Asri Nugroho terjual, meski prosesnya tidak mudah. Sang calon pembeli di AS meminta gambar detail lukisan yang akan dibelinya. "Jadi, kita harus motret dari berbagai sudut. Repot karena kita belum pernah melakukannya," ujar bungsu di antara lima bersaudara itu.

Selain untuk memperluas pasar, Sam ingin nama pelukis di Indonesia lebih terkenal. Sebab, setiap kali berbicara tentang seni dengan warga negara asing, mereka selalu tidak percaya bahwa Indonesia, terutama Surabaya, punya banyak seniman bagus. "Mereka hanya kenal Bali ketimbang Indonesia itu sendiri," katanya.

Agar tak berjalan sendirian, Sam juga berusaha belajar lebih lanjut tentang penjualan lukisan melalui proses lelang. Karena itu, bulan depan, dia berencana terbang ke Singapura untuk bertukar pikiran dengan orang-orang yang dianggapnya berpengalaman. "Rasanya sudah saatnya Surabaya punya seperti ini," tegasnya.

Sam mengatakan, awalnya dirinya tidak memiliki rancangan yang jelas tentang galeri tersebut. Namun, melihat perkembangan galeri, banyak ide untuk mengembangkan dunia seni tersebut ke arah yang lebih besar. "Saya tipe yang suka belajar dan mencoba. Ini salah satunya," katanya, lantas tersenyum.

Dia juga merasa beruntung karena mendapat Asri Nugroho sebagai mentor. "Beliau pelukis hebat. Untung, waktu itu saya langsung mengajaknya kerja sama. Soalnya setelah deal, ada orang yang mendekatinya. Tapi, ditolak Pak Nunuk karena sudah memiliki kesepakatan dengan saya," terangnya.

Saat ini, pria yang mendapatkan gelar master dari IBMT itu merasa enjoy dengan dunia baru yang ditekuninya tersebut. Apalagi, meski dirinya tergolong masih muda jika dibandingkan dengan pelaku dunia seni di Surabaya, tak sedikit pun dia diremehkan. (any/dos)


INDEX MINGGU INI

* Tutup Galeri, Buka Rumah Tangga
* Rugi, Anggap Saja Uang Sekolah
* Salah Paham, Rp 15 Juta Melayang
* Ingin Jadi Bagian Sejarah
* Sulit Jawab soal Selingkuh
* Biasakan Selalu Terbuka
* Ingin Basis Agama Anak Kuat
* Konsultasi : Dampak Perdagangan Bebas bagi Keluarga Indonesia

HALAMAN SEBELUMNYA

* Otak-atik Benda Tak Terpakai
* Konsultasi: Rumah Mungil nan Lengkap
* Mochi Legit Tahun Baru
* Resep Pekan Ini
* ES Hitam Putih
* Main Course Saus Kopi
* Perempuan-Perempuan Motivator Lingkungan
* Ingin Dakwah, Tercebur Sampah
* Ubah Yang Rumit Jadi Sederhana
* Teteh Yasmin yang Bermodal Penasaran

sumber:jawapos.com

0 comments

Posting Komentar